Abro Fernandes, Persija, Dan Kenangan Tentang Sepakbola Kampung
Seperti halnya seni bela diri, sepak bola adalah budaya yang telah mengakar. Keduanya melekat bersama peradaban dan hadir mengisi kehidupan setiap lapisan masyarakat.
Bagi Abro “The Black Komodo” Fernandes, sepak bola dan seni bela diri adalah dua rumah yang telah mengisi lembaran kisah hidupnya. Pria kelahiran Timor Leste ini tumbuh bersama sepakbola di tanah kelahirannya, dan kini, ia hidup bersama seni bela diri.
Abro lahir di Luro, sebuah kecamatan di Lautém, Timor Leste, tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Saat mengejar karier profesional dalam seni bela diri campuran, ia hijrah ke Indonesia dan menetap di Solo bersama istri dan kedua anaknya.
Juara Bantamweight Nasional ini bangga mewakili kedua negara di pentas global, namun kenangan tentang sepakbola dan masa kecilnya masih melekat dalam benaknya.
“Saya masih ingat sekali. Saya sering main bola dekat sawah. Jadi jika ada lahan kosong, kita main,” tutur atlet berusia 30 tahun ini.
“Saya memang sudah suka bela diri dari kecil, tapi saya juga main sepak bola dari kecil saat saya masih di kampung. Kita sering main antar kampung.”
Luro adalah daerah pegunungan dengan sawah dan perkebunan yang terhampar luas. Bermain sepakbola menjadi sebuah hiburan bagi Abro, yang seperti kebanyakan 7.000 warga pada umumnya, menggantungkan hidup dari bertani.
“Kalau dulu, gawangnya ditandai dengan kayu yang ada. Yang penting ada tanda, terus kita jalan,” ungkap anak pertama dari sembilan bersaudara ini.
“Saya itu dari dulu senang bermain di posisi bek, karena saya lebih suka nunggu bola datang ke saya.”
- Adrian Mattheis Dan Abro Fernandes Mengenang Karya Abadi Didi Kempot
- Priscilla, Sosok Kakak Di Dalam Dan Luar Arena Bagi ‘Papua Badboy’
- Sunoto Ingin Munculkan Atlet Generasi Baru Dari Blora
Abro lahir ketika industri sepakbola tengah berpenetrasi ke berbagai belahan dunia, termasuk ke tempat kelahirannya. Satu alasan yang memicu minatnya pada si kulit bundar adalah para pemain bintang yang berlaga di Piala Dunia.
Momen empat tahunan tersebut selalu terasa istimewa baginya, yang kerap menonton bersama teman lainnya di rumah warga yang memiliki televisi. Kala itu, layar kaca adalah sebuah barang mewah.
“Saya sering nonton kalau ada pertandingan piala dunia. Pastinya, dulu di kampung listrik tidak begitu stabil, dan juga tidak banyak yang punya TV. Jadi perlu sedikit pengorbanan untuk nonton bareng-bareng,” ungkapnya.
Saat Abro beranjak remaja, Timor Leste masih menjadi bagian dari Republik Indonesia, sehingga ia kerap terekspos pada perkembangan olahraga di bumi pertiwi.
Kala itu, klub sepakbola nasional yang tengah berjaya adalah Persija Jakarta, yang kemudian berhasil merengkuh supremasi tertinggi dengan menjadi juara liga pada tahun 2001.
“Saya suka Persija. Menurut saya pemainnya semua bagus-bagus,” tutur Abro. “Selain timnya bagus, Persija juga sangat diekspos, jadi yang saya lihat selalu mereka.”
“Tapi kalau pemain, saya senang melihat permainan Boaz Solossa, sih. Saya senang gaya bermain dia.”
Abro berharap pandemi COVID-19 bisa segera berakhir. Selain agar bisa kembali berlaga, ia pun ingin menyaksikan kembali sepak bola.
Meski kini tengah berkarier dalam pentas seni bela diri profesional, sepak bola tetap mengisi aktivitas atlet yang bernaung di bawah Han Academy ini.
“Kalau ada teman mengajak main futsal, pasti saya ikut. Bahkan di sasana juga kita punya bola,” ungkap Abro.
“Kadang kalau kita jenuh latihan, ya kita semua main bola. Jadi cukup ganti dengan itu saja sebagai pemanasan.”
“Menurut saya, karena kita [atlet bela diri] semua sudah dilatih otot-ototnya dan juga sering dilatih berlari, kita bisa saja transisi ke olah raga itu.”
Baca juga: Kehadiran Buah Hati Memberi Suasana Baru Bagi Egi Rozten