Cara Sam-A Temukan Semangat Dan Menjadi Legenda Muay Thai

Sebelum Sam-A Gaiyanghadao menjadi salah satu atlet Muay Thai terbaik sepanjang masa, ia sempat kehilangan gairahnya dalam menjalani disiplin ini dan meninggalkan semua itu demi menjadi pekerja kasar di ibukota Thailand.
Namun, setelah mengalami kehidupan keras sebagai seorang buruh, Juara Dunia ONE Flyweight Muay Thai ini termotivasi untuk kembali ke dalam ring, keluar dari kemiskinan, serta menjadi legenda.
Sam-A merebut gelar Juara Dunia Lumpinee Stadium Muay Thai pertamanya saat berusia 19 tahun, namun segera setelah itu, ia meninggalkan “seni delapan tungkai” di belakang.
Ia meraih puncak dari profesinya setelah 10 tahun penuh dedikasi, namun ia masih tak memiliki uang dan sama sekali tidak bahagia.
Tiap kali ia memenangkan laga, ia harus membayar sasananya, dan ia seringkali harus membayar lebih besar daripada yang ia terima. Terdapat banyak atlet yang keluar dari kamp tersebut, dan Sam-A juga sudah merasa muak.
“Saya telah bertarung sejak kecil, saya terlalu lelah melihat politiknya, dan semua itu,” jelasnya.
“Ada beberapa permasalahan di sasana saya, dan itu menjadi terlalu berat. Saya tak ingin melakukannya lagi.”
Warga Buriram ini menaruh semua miliknya di sebuah tas dan pergi ke Bangkok untuk mencari pekerjaan, namun keadaannya hampir tidak berkembang di ibukota Thailand itu.
Ia sulit mendapatkan pekerjaan, dan terpaksa menjadi pekerja konstruksi untuk mendapatkan uang.
“Saya hanya menghasilkan 220 Baht (kira-kira US$7) per hari,” jelasnya.
“Saya harus bangun pada pukul 4:30 setiap harinya untuk dapat bekerja tepat waktu. Seringkali, saya tidak pulang sampai setelah pukul 9 malam – terkadang bahkan lebih malam lagi. Di malam-malam itu, saat saya tertidur, itu sudah lepas dari tengah malam.”
Ketika ia tetap menyibukkan diri, ia menemui jalan buntu. Tak ada kesempatan untuk berkembang di sana, gajinya tak bertambah, dan pekerjaan itu tak ada habisnya.
Sampai suatu waktu, Muay Thai mulai kembali memanggil namanya sekali lagi.
“Ada beberapa pemicu kecil. Saya mendengar bel berbunyi, atau suara dari bee muay [musik tradisional yang dimainkan saat laga], bahkan aroma dari peralatan Thai Boxing – itu membuat saya merindukan Muay Thai,” kenangnya.
“Saya segera menyadari bahwa saya ingin kembali berkompetisi.”
Setelah satu tahun tanpa mengenakan sarung tinjunya, Sam-A kembali ke rumahnya di Buriram dan pergi ke sasana yang mencetaknya menjadi Juara Dunia.
Ia sama sekali tidak kehilangan kemampuan elitenya, dan hanya masalah waktu sampai ia kembali mengangkat tangannya.
“Saya berlatih sekitar satu bulan sebelum kembali ke stadion,” kenangnya.
“Saya sudah memiliki semua teknik itu, saya hanya harus merekondisi tubuh saya sekali lagi. Saya berakhir memenangkan laga dengan poin, tetapi saya tahu saya dapat melakukan jauh lebih baik. Saya senang dapat menang dan siap untuk awalan baru.”
Namun, ia mulai melihat tantangan yang lain. Ia tidak memiliki pelatih penuh waktu atau rekan berlatih yang dibutuhkannya untuk tetap tajam.
Beruntung, pada saat yang sama, ia pun menikah. Ia lalu memindahkan kamp pelatihannya ke desa istrinya di Buriram tengah dan memenangkan gelar Juara Dunia Lumpinee Stadium Muay Thai lainnya, serta gelar Juara Thailand selama tiga tahun berada di sana.
Kesuksesannya itu sangatlah luar biasa, karena ia berlatih di sasana kecil di Isaan, dan menjadi pembuktian akan bakatnya yang sangat hebat. Tetapi, setelah beberapa waktu, ia merasa sangat ingin mengasah kemampuannya dalam lingkungan yang dapat mengeluarkan sisi terbaiknya.
“Saya kalah dalam laga terakhir saya bersama sasana itu, dan itu tak berdampak bagus bagi saya,” jelasnya.
“Saya sangat frustrasi karena saya mengetahui bahwa saya jauh lebih baik dari itu, serta mengetahui bahwa saya membutuhkan rekan clinch yang lebih baik jika saya ingin terus berkompetisi.”
Dari titik tersebut, Sam-A yang saat itu berusia 27 tahun menghubungi Sia Nao, pemilik dari sasana terkenal Petchyindee Academy di Bangkok saat itu.
Yang berikutnya menjadi sejarah. Sam-A membangun catatan rekor profesional luar biasa, 366-46-9, merebut berbagai sabuk emas, serta menjadi salah satu praktisi terhebat dalam sejarah olahraganya ini.
Kini, pria yang telah berusia 35 tahun itu menetap bersama Evolve di Singapura, dimana ia dikelilingi oleh para Juara Dunia terbaik.
Pekerjaannya di “Kota Singa” membantunya merebut sabuk emas ONE Super Series, dan mempersiapkan dirinya dengan baik saat ia harus mempertahankan gelar itu untuk pertama kalinya saat ia melawan Jonathan “The General” Haggerty dalam laga utama ajang ONE: FOR HONOR di Istora Senayan, Jakarta, tanggal 3 Mei nanti.
Sam-A tetap termotivasi untuk mempertahankan gelar Juara Dunia miliknya, membanggakan negaranya, menghibur para penggemar, serta memberi nafkah bagi keluarganya dengan mempertahankan posisinya sebagai sang penguasa divisi.
Lebih dari satu dekade lalu, ia hampir melepaskan kehidupannya di dalam ring, tetapi saat ia melihat kembali, ia pun mengakui bahwa masa pensiun sementara itu membakar kembali semangat dalam karier legendarisnya ini.
“Masa istirahat itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi pada saya. Saya belajar seberapa sulit untuk mencari uang, dan pekerjaan itu juga sangat berat,” kenangnya.
“Segala sesuatunya – dari cuaca yang panas sampai jam kerja yang panjang – membuat tubuh saya sakit dan lelah. Tak ada kegembiraan atau tujuan yang harus dicapai.”
“Itu membuat saya menghargai Muay Thai lebih lagi dan bekerja lebih keras untuk apa yang saya cintai.”