Jalan Berliku Yang Paul Lumihi Tempuh Menuju Kegemilangan
Paul “The Great King” Lumihi bukan hanya merupakan salah satu atlet elit dari Indonesia yang berlaga di ONE Championship, tetapi juga tulang punggung keluarga bahkan sejak usia muda.
Altet kelahiran Manado, Sulawesi Utara, ini mendapatkan inspirasi terbesar untuk sukses dari keluarganya hingga ia bisa menembus panggung dunia. “The Great King” sempat mengalami masa berat di usia remaja, namun tanggung jawab yang ia miliki sebagai anak pertama dari empat bersaudara memberinya sebuah kekuatan lebih.
https://www.instagram.com/p/B6e8BtfhzpD/
“Tujuan saya adalah mengangkat derajat keluarga,” ungkap atlet dari Gorilla Fight Club ini.
“Mereka adalah penyemangat sekaligus motivasi saya karena selalu ada dalam pikiran.”
Paul beranjak dari keluarga sederhana yang mengenalkannya pada peluh dan harapan sejak usia remaja. Sebagai putera sulung, Paul menjadi harapan keluarga terutama dalam menyekolahkan ketiga adiknya.
Hari-harinya sempat diisi oleh ketidakpastian karena masalah yang menerpa orang tuanya, hingga mereka memutuskan untuk berpisah. Paul harus mengisi kekosongan dalam keluarga saat kebutuhan ekonomi semakin menghimpit.
“Saya lahir dari keluarga sederhana. Bahkan, bisa dibilang saya dari keluarga susah karena sebagai anak pertama dalam keluarga, saya harus berjuang untuk menyekolahkan dua adik laki-laki dan satu adik perempuan,” ungkap atlet berusia 32 tahun ini.
“Bapak dan ibu berpisah ketika saya masih berusia belasan. Akhirnya saya harus memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ketika menginjak SMA [Sekolah Menengah Atas] dan terpaksa bekerja demi menyekolahkan adik-adik saya.”
“Waktu itu, saya ajak adik-adik untuk hidup dan tinggal di rumah kontrakan, karena saya enggak mau mereka terlibat dalam permasalahan orang tua kami.”
Berkorban Demi Keluarga
Tanggung jawab besar mulai menghampiri untuk membesarkan ketiga adiknya, serta merawat sang ibunda yang kian menua. Pengorbanan yang ia lakukan hingga harus putus sekolah membuat semuanya terasa lebih berat, karena tak banyak pilihan yang bisa ia ambil sebagai mata pencaharian.
Paul, dengan keterampilan seadanya saat itu, terpaksa harus mengambil berbagai pekerjaan dengan upah rendah hanya agar bisa menyambung hidup.
“Jadi saya bekerja untuk membantu adik-adik, contohnya bekerja sebagai penjaga dan pembersih toko. Bahkan sampai kerja dalam proyek bangunan pun pernah,” ungkap Paul.
Meski tanggung jawab besar baru ia rasakan menginjak usia dewasa, namun perjuangan bukanlah kata asing bagi dirinya. Bahkan, untuk pulang dan pergi dari sekolahpun ia harus menempuh jarak jauh demi mengejar pendidikan.
“Ketika SD [Sekolah Dasar] saya harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer, begitupun ketika SMP [Sekolah Menengah Pertama] dan SMA sebelum saya keluar sekolah,” tuturnya.
Perkenalan Dengan Dunia Bela Diri
Paul mengenal bela diri lewat pamannya, dan sejak kecil mulai menekuni beberapa disiplin seperti silat dan taekwondo. Namun baru pada tahun 2006, saat berusia 18 tahun, ia mulai terjun pada kompetisi.
“Mengenal bela diri awalnya karena ingin memperbaiki keuangan keluarga dan memang anggota keluarga ada yang belajar bela diri juga. Jadi dari kecil sudah belajar sama paman. Pada tahun 2006, saya mulai berfokus untuk berlaga di kompetisi agar bisa punya prestasi,” tuturnya.
Paul mengikuti berbagai kejuaraan hingga akhirnya kesempatan untuk mewakili daerahnya terwujud. Kala itu, Paul tampil dalam pra-PON wushu dan kejuaraan nasional.
Raihan prestasi tersebut membawa Paul pada satu tempat di OPMMA pada tahun 2016. Ia pun tampil tak terkalahkan dalam tujuh laga dan berhasil menjadi juara divisi featherweight sebanyak lima kali. Dominasi yang ia tunjukkan dalam ranah domestik membuka jalan menuju panggung dunia ONE Championship dua tahun berselang.
“Perasaan tentu bangga karena bisa mewakili negara. Semoga bisa jadi pahlawan negara karena saya mewakili Indonesia dan tampil di negeri orang,” ungkap “The Great King.”
Mimpi Terbesar
Setelah mengarungi jalan terjal untuk mewakili Indonesia di pentas global, Paul memendam mimpi besar untuk bisa meraih prestasi tertinggi.
Jalan menuju kesana memang tak mudah. Angin yang menerpa saat menuju puncak tentu lebih menggebu. Namun hal itu memberi Paul sebuah motivasi baru.
“Tentu saja semua petarung ketika ditanya mimpi pasti ingin jadi penantang gelar Juara Dunia. Tapi itu target masa depan dan untuk sekarang, saya harus lewatin proses dulu. Naik tangga satu demi satu, karena kalau langsung locat, saya bisa jatuh,” tutur Paul.
“Target saya dalam dua hingga tiga tahun adalah bisa menjadi Juara Dunia.”
Pahit getir perjuangan yang ia rasakan telah membentuk mental Paul. Ia mengerti bahwa tidak selamanya hasil yang ia dapatkan akan sesuai dengan harapannya.
Berbagai tantangan yang telah ia hadapi selalu memberinya semangat baru tanpa harus merasa terbebani akan kejayaan yang ia rasakan di masa lalu.
“Saya dulu belum pernah kalah dalam wushu. Saat kalah, saya merasa tertekan dan berpikir untuk berhenti bertanding dan ganti profesi,” ungkapnya.
“Tapi lama-kelamaan, semangat itu muncul lagi. Akhirnya, sekarang jika kalah saya tidak akan tertekan seperti dulu lagi, justru akan lebih termotivasi lagi. Kita kalah bukan karena kurang jago, tapi hanya kurangnya persiapan.”
Doa Sang Ibunda
Paul mengerti ada banyak doa dan harapan dalam setiap perjuangannya, termasuk dari seseorang yang selalu menantikan kisahnya.
“Saya sering berkonsultasi dengan ibu saya. Saat ngobrol, ibu akan berdoa dan bilang saya akan menang.”
Dengan keyakinan dan semangat baru yang didapatnya, ia semakin bertekad untuk mendaki peringkat divisi dan juga membanggakan keluarganya.
“Ini tidak mudah, karena dulu saya di OPMMA sudah mencapai di puncak. Tapi saat pindah ke ONE Championship saya harus mendaki lagi,” urainya.
“Memang tidak mudah untuk mencapai puncak ONE Championship. Yang pasti harus berjuang lagi.”