Kerja Keras Martin Nguyen, Kebanggaan Bagi Ayahnya
Masa muda Martin “The Situ-Asian” Nguyen (10-1) penuh dengan perkelahian, tetapi ia tidak pernah sulit mencari inspirasi dan akhirnya menempatkan diri pada jalur yang tepat. Bagi atlet ini, inspirasi terbesarnya berada di rumah, dari seorang pria yang ia sebut “ayah.”
Sebelum Juara Dunia ONE Featherweight dan Lightweight ini lahir, ayah dan ibunya harus mencari tempat tinggal baru ketika Perang Vietnam hampir berakhir pada era 1970an. Orang tuanya mencari kehidupan yang lebih baik dan keluar dari tanah kelahiran mereka, sebelum berdiam di Australia sampai saat ini.
Ayah Martin segera menemukan pekerjaan sebagai buruh industri kayu dan mampu menghidupi keluarganya dengan motivasi dan kerja kerasnya.
“Ayah saya bekerja keras untuk bertahan hidup. Kami bukanlah keluarga terkaya, tetapi bukan pula yang termiskin, kami bertahan hidup,” kata atlet berusia 29 tahun ini. “Ia adalah satu-satunya inspirasi saya untuk bekerja keras, sama seperti caranya menghidupi keluarganya.”
Selain mampu menghidupi keluarga, ayah Martin bahkan mengumpulkan cukup uang untuk membawa keluarganya berlibur ke Vietnam, supaya anak-anaknya dapat bertemu dengan keluarga besar mereka.
His father, his source of inspiration, kept him grounded so he could fly high.His father, his source of inspiration, kept him grounded so he could fly high. Bangkok | 24 March | TV: Check local listings for global broadcast | Facebook: Prelims LIVE | Twitter: Prelims + 2 main-card bouts LIVE | Tickets: http://bit.ly/onewill18
Posted by ONE Championship on Thursday, March 22, 2018
Walaupun Martin hampir tidak dapat mengingat perjalanan pertamanya ketika masih berusia enam tahun ke negara di kawasan Asia Tenggara tersebut, ia pun kembali kesana saat ia beranjak remaja, pada umur 18 tahun. Saat itu, perjalanannya memberikan arti tersendiri bagi dirinya.
“Ayah saya mengirim kami terbang ke Vietnam dan hal ini membantu saya mengetahui darimana kami berasal. Saya menemukan komunitas saya, bertemu dengan para sepupu, paman dan bibi saya, dan hal ini membuat saya tersadar,” Martin menjelaskan. Setelah itu, ia pun melihat ayahnya dengan pemahaman baru.
“Saya kembali ke Australia dan orang tua saya menginginkan saya untuk belajar, seperti para orang tua Asia lainnya,” lanjutnya. “Tetapi saya hanya ingin bekerja dan mencari penghidupan seperti ayah saya. Saat itu, saya sudah menikahi istri saya. Saya memiliki satu anak lelaki, dan saya termotivasi untuk menyediakan yang terbaik bagi dirinya.”
Martin mengikuti jejak ayahnya dan menghidupi keluarganya sebagai seorang mekanik mobil. Tetapi, pada tahun 2010, ia diam-diam menempatkan dasar untuk karir dalam dunia bela diri.
Setelah sebuah karir rugby yang gagal, Martin merasa sedikit “gemuk,” dan memulai latihan bela diri bersama sasana KMA Top Team di New South Wales untuk kembali ke kondisi fit. Hal ini akhirnya membawa “The Situ-Asian” untuk menguji kemampuan Brazilian Jiu-Jitsu yang dimilikinya dalam berbagai turnamen grappling, sebelum ia berkompetisi dalam berbagai pertandingan bela diri amatir.
Sementara ayahnya tidak terlalu menyukai kegiatan anaknya di dalam ring tersebut, ia tetap menonton dan mendukungnya.
Pada bulan Juli 2012, Martin masuk ke dalam debut profesionalnya dan membuktikan bakatnya setelah bel tanda pertandingan dimulai berbunyi. Ia tidak terkalahkan, memenangkan tiap pertandingan sebelum akhirnya merebut gelar Juara BRACE Featherweight pada bulan November 2013. Seperti anak lainnya, ia segera membawa sabuk emas itu untuk diperlihatkan kepada ayahnya.
“Ayah saya melihatnya. Ia sangat senang dan mengambil foto bersama [sabuk itu]. Itu sangat luar biasa,” kata Martin. “Lalu ia berkata, ‘Baik, kamu sekarang meraih sabuk itu. Cukup. Sebaiknya kamu berhenti.’ Tidak ada orang tua yang menyukai anak-anak mereka terluka dalam sebuah pertandingan, maka ia berkata, ‘Cukup. Jangan lagi.’”
Yang membuat hal ini lebih buruk, itu adalah kata-kata terakhir yang keluar dari ayah Martin terkait karir bela dirinya.
Beberapa minggu kemudian, ayah Martin Nguyen meninggal dunia secara tragis. Ia telah menjalani transplantasi sum-sum tulang belakang supaya ia dapat memproduksi sel darah putih ke dalam tubuhnya. Prosedur ini sebenarnya berhasil, tetapi proses penyembuhannya berjalan lebih lama dari biasanya. Selagi para dokter mempersiapkan tes-tes berikutnya, ayah Martin terjangkit flu, yang pada akhirnya berubah menjadi radang paru-paru dan mengambil nyawanya.
The foundation of his strength, perseverance, and undeterred determination. Kuala Lumpur | 18 August | TV: Check local listings for global broadcast | PPV: Official Livestream at oneppv.com | Tickets: http://bit.ly/onegreatness17
Posted by ONE Championship on Friday, August 11, 2017
“Saya tidak pernah mengalami kesulitan atau patah hati sampai pada saat itu, dan saya tidak akan pernah melupakan hari itu,” kata Martin.
“Ia berada di Melbourne waktu itu, maka saya terbang ke Melbourne untuk menemuinya. Segala sesuatunya terjadi terlalu cepat dan ia tiba-tiba tiada. Saya bahkan tidak sempat berbicara dengannya, dan banyak hal yang saya ingin katakan kepadanya. Itu sangat menyakitkan.”
Empat setengah tahun kemudian, ia masih membawa tragedi tersebut bersamanya. Faktanya, sangat sulit bagi Martin untuk berbagi tentang hari yang tragis itu.
Walaupun atlet keturunan Vietnam-Australia ini selalu teringat akan ayahnya, ia menemukan cara yang tepat untuk membalas semua jasanya.
“The Situ-Asian” mengingat betapa senang ayahnya ketika ia mengangkat gelar Juara BRACE Featherweight, dan meski ia tidak pernah dapat mengulang momen tersebut, Martin membuktikan bahwa ia mampu melakukan hal-hal yang jauh lebih baik, yaitu memenangkan beberapa kejuaraan dunia untuk ayahnya.
Pada bulan Agustus 2017, Martin membalas satu-satunya kekalahan dalam karirnya dengan menundukkan juara divisi feathweight Marat “Cobra” Gafurov dan merebut gelar Juara Dunia ONE Featherweight.
Beberapa hari setelah kemenangan besar itu, ia pergi ke kediaman terakhir ayahnya dan menaruh sabuk itu diatas nisannya.
“Kali terakhir ayah saya melihat saya adalah saat saya memenangkan gelar Juara BRACE Featherweight. Ia melihatnya, kami mengambil foto bersama, dan beberapa minggu kemudian ia meninggal. Itu adalah hal terakhir yang kami miliki bersama, sabuk itu,” jelasnya.
“Maka, saat saya kembali mengunjunginya di pemakaman, itu seperti kami memiliki momen tersebut sekali lagi.”
Martin lalu kembali membuat kejutan. Ia mengalahkan Juara Dunia ONE Lightweight Eduard “Landslide” Folayang untuk merebut sabuk emas keduanya pada bulan November, dimana ia kembali mengincar lebih banyak emas.